Kesadaran Beragama Siswa Sebagai Hasil Pembinaan Guru
Arus globalisasi industri yang terjadi sekarang, tidak
hanya memberikan keuntungan bagi umat manusia. Namun, disisi lain juga membawa
kerugian, seperti mudahnya seseorang mendapatkan sesuatu yang pada dasarnya
tidak diperuntukkan untuknya. Modernisasi zaman telah mengikis nilai-nilai
kebudayaan dan spiritual. Sikap individualistis dan kapitalis menjadi
berkembang pesat, menanggalkan fitrahnya sebagai manusia. Nilai-nilai agama di
nomor dua kan,
dan kesenangan pribadi menjadi prioritas dalam kehidupan.
Jika hal ini terus terjadi, tanpa adanya nilai agama
dalam diri seseorang sebagai filter dari arus modernisasi tersebut, maka apa
yang ditakutkan umat manusia bahwa yang menghancurkan manusia itu adalah manusia
itu sendiri menjadi lebih memungkinkan untuk segera terjadi.
Oleh karena itu, keadaan ini menjadi tanggung jawab
besar bagi pendidik dalam mengupayakan antisipasi terjadinya hal tersebut.
Salah satunya dengan penanaman nilai-nilai agama dan moral sedini mungkin pada
anak. Dengan demikian, tidak salah adanya booming
atau menjamurnya TK-TK yang bermuatan
agama sejak tahun 1990-an. Ada
kecenderungan orangtua lebih memilih menyekolahkan anak prasekolahnya di TK
yang bernuansa agama baik paruh waktu atau seharian/fullday). Di TK bernuansa
agama, anak-anak diperkenalkan nilai-nilai agama secara dini, terpadu dengan
kegiatan pembelajaran di sekolah. Kondisi ini disebabkan orangtua sangat
menyadari bahwa pendidikan agama penting ditanamkan pada anak sejak usia dini.
Kesibukan orangtua yang umumnya bekerja, baik ayah dan ibu telah menyebabkan
waktu untuk menanamkan ajaran agama dalam keluarga sangat berkurang sehingga
orangtua cenderung lebih mempercayakan pendidikan agama anak di sekolah
(NurFathiyah, K, 2007:102).
Tidak hanya pada tingkat taman kanak-kanak saja,
ditingkat sekolah dasar sampai menengah pun orangtua lebih memprioritaskan
anaknya untuk masuk pada sekolah yang bernuansa agama, sehingga sekolah-sekolah
swasta yang bernuansa keagamaan juga berkembang pesat. Sekalipun sekolah-sekolah
swasta yang bernuansa agama tersebut eksklusif tetapi tetap menjadi sekolah
yang banyak diminati orangtua.
Jika ditinjau dari tugas seorang guru, salah satunya membentuk
kepribadian anak yang harmonis sesuai dengan cita-cita dan dasar negara yaitu Pancasila,
dan menyiapkan anak menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan UU Pendidikan
yang merupakan keputusan MPR No. II Tahun 1983 (Roestiyah N.K dalam Djamarah
SB, 2010:38). Maka nilai-nilai agama atau kesadaran agama tidak hanya didapati
pada sekolah-sekolah yang bernuansa agama saja, hal tersebut juga dapat
diperoleh pada sekolah-sekolah umum.
Keberadaan lembaga pendidikan adalah pelanjut dari
pendidikan di keluarga. Pendidikan agama dalam lembaga pendidikan lebih
bersifat disengaja, teratur, terencana, dapat dievaluasi dan diupayakan dalam
struktur yang berkelanjutan. Di sekolah anak diajari untuk mengenal banyak
konsep baik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalaninya maupun
konsep-konsep diluar kebiasaan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut diupayakan
agar pengajarannya bisa dimengerti anak sesuai tahap berpikir, perasaan, dan
kemampuan berperilaku anak. Tugas guru dan sekolah adalah:
1.
merencanakan materi, metode
serta alat bantu untuk menarik perhatian anak
2.
menyediakan materi yang mudah
diserap anak, tidak sekedar hapalan semata
3.
menjadi model sekaligus
menghidupkan suasana religius di sekolah (NurFathiyah, K, 2007:116).
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa ketiga tugas ini bukan
hal mudah, karena proses pembinaan keberagamaan bersifat tidak statis, namun
mengikuti trend keberagamaan dalam lingkungan budaya masyarakat sekitar maupun
kehidupan. Apalagi di jaman yang makin permisif dan hedonis ini, tugas
pendidikan keberagamaan anak mendapat tantangan yang berat.
Dalam hal ini kita meninjau istilah Zakiah Drajat dalam Fadly.
M (2010:1) yang membahas tentang kesadaran agama mengemukakan:
Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang
hadir/terasa dalam pikiran dan dapat dilihat gejalanya melalui introspeksi,
dapat dikatakan bahwa kesadaran beragama adalah aspek mental atau aktivitas
agama, sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan yang membawa kepada
keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kesadaran dan
pengalaman agama tersebut akan muncul sikap keagamaan yang ditampilkan
seseorang yang mendorongnya untuk bertingkahlaku sesuai dengan ketaatannya pada
agama yang dianutnya. Sikap tersebut muncul karena konsestensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif yang merupakan integrasi
secara kompleks antara pengetahuan. Perasaan serta tindak keagamaan dalam diri
seseorang. Hal ini menujukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut dengan segala
kejiwaan.
Keberadaan guru sebagai pendidik pada lingkungan sekolah
mengemban tugas berat dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada anak.
Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah arsitektur yang dapat membentuk
jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan
membangun kepribadian anak menjadi sesorang yang berguna bagi agama, nusa, dan
bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat
diharapkan membangun dirinya dan membangun bangsa dan negara (Djamarah, SB,
2010:36).
Pada setting sekolah dan madrasah terdapat dua jenis
pendidik yang bertugas yaitu guru dan konselor. Guru sebagai pengampu mata
pelajaran bidang studi, menyelenggarakan proses pembelajaran melalui kegiatan
pengajaran dalam bidang studi atau mata pelajaran tertentu di satuan pendidikan
tertentu (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK). Sedangkan
konselor sebagai pengampu pelayanan konseling, menyelenggarakan proses
pembelajaran melalui kegiatan pelayanan konseling dalam bidang pengembangan
pribadi, kemampuan social, kemampuan belajar, dan pengembangan karir di satuan
pendidikan tertentu (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) (Prayitno. 2009:464-465).
Guru mata
pelajaran yang memiliki peran yang dominan dalam menumbuhkembangankan kesadaran
beragama pada anak didik yaitu guru mata pelajaran agama. Hal ini dikarenakan guru
agama sebagai pengampu dari mata pelajaran pendidikan agama, materi-materi
pelajaran yang disampaikan berlandaskan hal-hal yang berkenaan dengan
keagamaan.
Pendapat tersebut sesuai
dengan apa yang dikemukakan Haryati, Nik (2011:23)
yaitu sebagai berikut:
”Pendidikan
agama islam baik di SD, SMP, maupun SMA, secara umum tujuannya sama secara
substansinya yaitu untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
dengan melalui pemberian pengetahuan dan pengalaman, sehingga setelah proses
pendidikan berakhir peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara.”
Jenis tenaga pendidik dalam setting sekolah selanjutnya
yang memiliki peran dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada siswa
yaitu konselor sekolah atau yang lebih dikenal dengan sebutan guru pembimbing. Hal
ini sesuai dengan tujuan dari pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
yaitu Bimbingan dan konseling bertujuan membantu peserta didik mencapai
tugas-tugas perkembangan secara optimal sebagai makhluk Tuhan, sosial, dan
pribadi. Lebih lanjut tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu individu
dalam mencapai: (1) kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan, (2)
kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat, (3) hidup bersama dengan
individu-individu lain, (4) harmoni antara cita-cita mereka dengan kemampuan
yang dimilikinya. Dengan demikian peserta didik dapat menikmati kebahagiaan
hidupnya dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat
umumnya (Ditjen
PMTK, 2008:7).
Walaupun kedua tenaga pendidik professional tersebut
secara umum terpisah bidang yang ditanganinya, namun keduanya secara
substansial saling mendukung dalam mengupayakan pencapaian dari apa yang
termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 1, yang berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklhak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara
guru pembimbing dan guru mata pelajaran agama dalam menumbuhkembangkan kesadaran
beragama pada diri siswa sehingga apa yang ditakutkan akan dampak negatif dari
modernisasi zaman dapat dihindari.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh Suherman AS. U (2007:25) yang mengatakan bahwa “salah
satu prinsip bimbingan konseling sebagai sebuah program yaitu di dalam program
bimbingan dan konseling perkembangan, konselor dan guru merupakan fungsionaris
yang bekerja sama.”
Beragam kegiatan yang dapat dilakukan guru pembimbing
dan guru mata pelajaran agama dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada
diri siswa. Seperti dengan mengadakan kegiatan-kegiatan bersifat keagamaan,
pembentukan kelompok-kelompok diskusi yang membahas tentang keagamaan,
melibatkan guru mata pelajaran agama sebagai nara sumber dalam pelayanan bimbingan dan
konseling, dan sebagainya. Dengan adanya kerjasama yang baik diantara kedua
jenis tenaga pendidik tersebut diharapkan dapat menumbuhkembangkan kesadaran
beragama pada diri siswa.
Idealnya memang demikian, namun kenyataan lain ditemukan
di lapangan khususnya di Kota Jambi. Pertama, masih ditemukannya
pengkotak-kotakkan peran antara guru pembimbing dengan guru agama. Hal tersebut
terjadi karena adanya asumsi bahwa tugas menangani siswa bermasalah adalah
tugas dari guru pembimbing, sehingga sedikit saja terjadi masalah pada anak
langsung diserahkan pada guru pembimbing, tanpa adanya upaya bimbingan terlebih
dahulu dari guru mata pelajaran agama. Kedua, walaupun umumnya di Kota Jambi
setiap SMP berstatus Negeri telah memiliki minimal tiga orang guru pembimbing
setiap sekolah, dan juga telah terdapat berbagai kegiatan yang bernuansa
keagamaan, tetapi tetap saja kesadaran beragama siswa itu masih kurang. Hal itu
tampak dari aktivitas-aktivitas siswa di luar rumah yang bertentangan dengan
nilai agama, seperti pergaulan bebas, memakai narkoba, minum minuman keras,
perkelahian. Sehingga timbul wacana yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini
yaitu kepada siswa-siswi yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA harus melewati
tes keperawanan terlebih dahulu.
Kemudian, dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan
di sekolah, juga tampak yang “paling” antusias mengurus kegiatan tersebut
adalah guru pembimbing. Padahal idealnya guru pembimbing dan guru agama
sama-sama antusiasnya, dikarenakan peran kedua jenis guru itu lebih dominan
dalam kegiatan tersebut.
Berkenaan dengan kesadaran beragama pada siswa, di
lapangan tampak ketika siswa mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah
seperti membaca surat
yasin yang pada umumnya diadakan satu kali seminggu pada setiap sekolah tampak
siswa kurang antusias untuk mengikutinya. Kemudian dari penuturan beberapa guru
mata palajaran agama yang mengatakan bahwa “anak sekarang ini jauh berbeda
dengan mereka dahulu, kalau mereka dulu sewaktu SD saja sudah beberapa kali
khatam Al’Quran, tetapi anak sekarang sudah SMP masih banyak yang belum lancar
membaca Al’Quran bahkan ada yang tidak bisa membacanya sama sekali.”
Dengan demikian, sekolah dan guru ternyata menjadi ujung
tombak proses transformasi agama anak. Untuk itu tujuan, metode dan cara
evaluasi dalam penanaman nilai keberagamaan anak di sekolah hendaknya
disesuaikan dengan tumbuh kembang anak dan disosialisasikan pada orangtua agar
bisa diteruskan di rumah.
Ini menjadi dasar bagi guru pembimbing dan guru agama
untuk bekerjasama dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada anak
didiknya. Guru pembimbing dan guru agama bersama-sama menanamkan nilai
keberagamaan anak di sekolah dan mensosialisasikannya kepada orangtua akan
penting-penting nilai-nilai agama dalam diri anak sehingga di lingkungan
keluarga orangtua dapat turut serta dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama
pada anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Guru & Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu Pendekatan
Teoritis Psikologis). Jakarta:
Rineka Cipta.
Ditjen PMTK.
2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Fadly M. 2010. Perkembangan
Rasa Kesadaran Agama pada Anak, dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Serta
Faktor yang Mempengaruhinya. (online). (http://fadly09tembilahan.blogspot.com/
2010/10/perkembangan-rasa-kesadaran-agama-pada.html, diakses 23 Januari 2012).
Haryati, Nik. 2011. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.
NurFathiyah, Kartika.
2007. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1/
Th. XIV / Mei 2007 Problem, Dampak, Dan Solusi Transformasi Nilai-Nilai Agama
Pada Anak Prasekolah. (online). (http://eprints.uny.ac.id/ 547/1/PROBLEM_DAMPAK_DAN_SOLUSI.pdf,
diakses 23 Januari 2012).
Suherman. AS,
Uman. 2007. Manajemen Bimbingan dan
Konseling. Bekasi: Madani Production.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukkan komentar anda disini. Terima Kasih.