Jumat, 27 Mei 2016

Kesadaran Beragama Siswa Sebagai Hasil Pembinaan Guru



Kesadaran Beragama Siswa Sebagai Hasil Pembinaan Guru

Arus globalisasi industri yang terjadi sekarang, tidak hanya memberikan keuntungan bagi umat manusia. Namun, disisi lain juga membawa kerugian, seperti mudahnya seseorang mendapatkan sesuatu yang pada dasarnya tidak diperuntukkan untuknya. Modernisasi zaman telah mengikis nilai-nilai kebudayaan dan spiritual. Sikap individualistis dan kapitalis menjadi berkembang pesat, menanggalkan fitrahnya sebagai manusia. Nilai-nilai agama di nomor dua kan, dan kesenangan pribadi menjadi prioritas dalam kehidupan.
Jika hal ini terus terjadi, tanpa adanya nilai agama dalam diri seseorang sebagai filter dari arus modernisasi tersebut, maka apa yang ditakutkan umat manusia bahwa yang menghancurkan manusia itu adalah manusia itu sendiri menjadi lebih memungkinkan untuk segera terjadi.
Oleh karena itu, keadaan ini menjadi tanggung jawab besar bagi pendidik dalam mengupayakan antisipasi terjadinya hal tersebut. Salah satunya dengan penanaman nilai-nilai agama dan moral sedini mungkin pada anak. Dengan demikian, tidak salah adanya booming atau menjamurnya TK-TK yang bermuatan agama sejak tahun 1990-an. Ada kecenderungan orangtua lebih memilih menyekolahkan anak prasekolahnya di TK yang bernuansa agama baik paruh waktu atau seharian/fullday). Di TK bernuansa agama, anak-anak diperkenalkan nilai-nilai agama secara dini, terpadu dengan kegiatan pembelajaran di sekolah. Kondisi ini disebabkan orangtua sangat menyadari bahwa pendidikan agama penting ditanamkan pada anak sejak usia dini. Kesibukan orangtua yang umumnya bekerja, baik ayah dan ibu telah menyebabkan waktu untuk menanamkan ajaran agama dalam keluarga sangat berkurang sehingga orangtua cenderung lebih mempercayakan pendidikan agama anak di sekolah (NurFathiyah, K, 2007:102).
Tidak hanya pada tingkat taman kanak-kanak saja, ditingkat sekolah dasar sampai menengah pun orangtua lebih memprioritaskan anaknya untuk masuk pada sekolah yang bernuansa agama, sehingga sekolah-sekolah swasta yang bernuansa keagamaan juga berkembang pesat. Sekalipun sekolah-sekolah swasta yang bernuansa agama tersebut eksklusif tetapi tetap menjadi sekolah yang banyak diminati orangtua.
Jika ditinjau dari tugas seorang guru, salah satunya membentuk kepribadian anak yang harmonis sesuai dengan cita-cita dan dasar negara yaitu Pancasila, dan menyiapkan anak menjadi warga Negara yang baik sesuai dengan UU Pendidikan yang merupakan keputusan MPR No. II Tahun 1983 (Roestiyah N.K dalam Djamarah SB, 2010:38). Maka nilai-nilai agama atau kesadaran agama tidak hanya didapati pada sekolah-sekolah yang bernuansa agama saja, hal tersebut juga dapat diperoleh pada sekolah-sekolah umum.
Keberadaan lembaga pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan di keluarga. Pendidikan agama dalam lembaga pendidikan lebih bersifat disengaja, teratur, terencana, dapat dievaluasi dan diupayakan dalam struktur yang berkelanjutan. Di sekolah anak diajari untuk mengenal banyak konsep baik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalaninya maupun konsep-konsep diluar kebiasaan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut diupayakan agar pengajarannya bisa dimengerti anak sesuai tahap berpikir, perasaan, dan kemampuan berperilaku anak. Tugas guru dan sekolah adalah:
1.      merencanakan materi, metode serta alat bantu untuk menarik perhatian anak
2.      menyediakan materi yang mudah diserap anak, tidak sekedar hapalan semata
3.      menjadi model sekaligus menghidupkan suasana religius di sekolah (NurFathiyah, K, 2007:116).
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa ketiga tugas ini bukan hal mudah, karena proses pembinaan keberagamaan bersifat tidak statis, namun mengikuti trend keberagamaan dalam lingkungan budaya masyarakat sekitar maupun kehidupan. Apalagi di jaman yang makin permisif dan hedonis ini, tugas pendidikan keberagamaan anak mendapat tantangan yang berat.
Dalam hal ini kita meninjau istilah Zakiah Drajat dalam Fadly. M (2010:1) yang membahas tentang kesadaran agama mengemukakan:
Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang hadir/terasa dalam pikiran dan dapat dilihat gejalanya melalui introspeksi, dapat dikatakan bahwa kesadaran beragama adalah aspek mental atau aktivitas agama, sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kesadaran dan pengalaman agama tersebut akan muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang yang mendorongnya untuk bertingkahlaku sesuai dengan ketaatannya pada agama yang dianutnya. Sikap tersebut muncul karena konsestensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif yang merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan. Perasaan serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menujukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut dengan segala kejiwaan.
Keberadaan guru sebagai pendidik pada lingkungan sekolah mengemban tugas berat dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada anak. Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah arsitektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak menjadi sesorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat diharapkan membangun dirinya dan membangun bangsa dan negara (Djamarah, SB, 2010:36).
Pada setting sekolah dan madrasah terdapat dua jenis pendidik yang bertugas yaitu guru dan konselor. Guru sebagai pengampu mata pelajaran bidang studi, menyelenggarakan proses pembelajaran melalui kegiatan pengajaran dalam bidang studi atau mata pelajaran tertentu di satuan pendidikan tertentu (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK). Sedangkan konselor sebagai pengampu pelayanan konseling, menyelenggarakan proses pembelajaran melalui kegiatan pelayanan konseling dalam bidang pengembangan pribadi, kemampuan social, kemampuan belajar, dan pengembangan karir di satuan pendidikan tertentu (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK) (Prayitno. 2009:464-465).
Guru mata pelajaran yang memiliki peran yang dominan dalam menumbuhkembangankan kesadaran beragama pada anak didik yaitu guru mata pelajaran agama. Hal ini dikarenakan guru agama sebagai pengampu dari mata pelajaran pendidikan agama, materi-materi pelajaran yang disampaikan berlandaskan hal-hal yang berkenaan dengan keagamaan.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Haryati, Nik (2011:23) yaitu sebagai berikut:
”Pendidikan agama islam baik di SD, SMP, maupun SMA, secara umum tujuannya sama secara substansinya yaitu untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dengan melalui pemberian pengetahuan dan pengalaman, sehingga setelah proses pendidikan berakhir peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara.”

Jenis tenaga pendidik dalam setting sekolah selanjutnya yang memiliki peran dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada siswa yaitu konselor sekolah atau yang lebih dikenal dengan sebutan guru pembimbing. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu Bimbingan dan konseling bertujuan membantu peserta didik mencapai tugas-tugas perkembangan secara optimal sebagai makhluk Tuhan, sosial, dan pribadi. Lebih lanjut tujuan bimbingan dan konseling adalah membantu individu dalam mencapai: (1) kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan, (2) kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat, (3) hidup bersama dengan individu-individu lain, (4) harmoni antara cita-cita mereka dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian peserta didik dapat menikmati kebahagiaan hidupnya dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat umumnya (Ditjen PMTK, 2008:7).
Walaupun kedua tenaga pendidik professional tersebut secara umum terpisah bidang yang ditanganinya, namun keduanya secara substansial saling mendukung dalam mengupayakan pencapaian dari apa yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 1, yang berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklhak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”

Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara guru pembimbing dan guru mata pelajaran agama dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada diri siswa sehingga apa yang ditakutkan akan dampak negatif dari modernisasi zaman dapat dihindari.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Suherman AS. U (2007:25) yang mengatakan bahwa “salah satu prinsip bimbingan konseling sebagai sebuah program yaitu di dalam program bimbingan dan konseling perkembangan, konselor dan guru merupakan fungsionaris yang bekerja sama.”
Beragam kegiatan yang dapat dilakukan guru pembimbing dan guru mata pelajaran agama dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada diri siswa. Seperti dengan mengadakan kegiatan-kegiatan bersifat keagamaan, pembentukan kelompok-kelompok diskusi yang membahas tentang keagamaan, melibatkan guru mata pelajaran agama sebagai nara sumber dalam pelayanan bimbingan dan konseling, dan sebagainya. Dengan adanya kerjasama yang baik diantara kedua jenis tenaga pendidik tersebut diharapkan dapat menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada diri siswa.
Idealnya memang demikian, namun kenyataan lain ditemukan di lapangan khususnya di Kota Jambi. Pertama, masih ditemukannya pengkotak-kotakkan peran antara guru pembimbing dengan guru agama. Hal tersebut terjadi karena adanya asumsi bahwa tugas menangani siswa bermasalah adalah tugas dari guru pembimbing, sehingga sedikit saja terjadi masalah pada anak langsung diserahkan pada guru pembimbing, tanpa adanya upaya bimbingan terlebih dahulu dari guru mata pelajaran agama. Kedua, walaupun umumnya di Kota Jambi setiap SMP berstatus Negeri telah memiliki minimal tiga orang guru pembimbing setiap sekolah, dan juga telah terdapat berbagai kegiatan yang bernuansa keagamaan, tetapi tetap saja kesadaran beragama siswa itu masih kurang. Hal itu tampak dari aktivitas-aktivitas siswa di luar rumah yang bertentangan dengan nilai agama, seperti pergaulan bebas, memakai narkoba, minum minuman keras, perkelahian. Sehingga timbul wacana yang digembar-gemborkan akhir-akhir ini yaitu kepada siswa-siswi yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA harus melewati tes keperawanan terlebih dahulu.
Kemudian, dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, juga tampak yang “paling” antusias mengurus kegiatan tersebut adalah guru pembimbing. Padahal idealnya guru pembimbing dan guru agama sama-sama antusiasnya, dikarenakan peran kedua jenis guru itu lebih dominan dalam kegiatan tersebut.
Berkenaan dengan kesadaran beragama pada siswa, di lapangan tampak ketika siswa mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah seperti membaca surat yasin yang pada umumnya diadakan satu kali seminggu pada setiap sekolah tampak siswa kurang antusias untuk mengikutinya. Kemudian dari penuturan beberapa guru mata palajaran agama yang mengatakan bahwa “anak sekarang ini jauh berbeda dengan mereka dahulu, kalau mereka dulu sewaktu SD saja sudah beberapa kali khatam Al’Quran, tetapi anak sekarang sudah SMP masih banyak yang belum lancar membaca Al’Quran bahkan ada yang tidak bisa membacanya sama sekali.”
Dengan demikian, sekolah dan guru ternyata menjadi ujung tombak proses transformasi agama anak. Untuk itu tujuan, metode dan cara evaluasi dalam penanaman nilai keberagamaan anak di sekolah hendaknya disesuaikan dengan tumbuh kembang anak dan disosialisasikan pada orangtua agar bisa diteruskan di rumah.
Ini menjadi dasar bagi guru pembimbing dan guru agama untuk bekerjasama dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada anak didiknya. Guru pembimbing dan guru agama bersama-sama menanamkan nilai keberagamaan anak di sekolah dan mensosialisasikannya kepada orangtua akan penting-penting nilai-nilai agama dalam diri anak sehingga di lingkungan keluarga orangtua dapat turut serta dalam menumbuhkembangkan kesadaran beragama pada anak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Djamarah, Syaiful Bahri. 2010. Guru & Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis). Jakarta: Rineka Cipta.

Ditjen PMTK. 2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

Fadly M. 2010. Perkembangan Rasa Kesadaran Agama pada Anak, dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Serta Faktor yang Mempengaruhinya. (online). (http://fadly09tembilahan.blogspot.com/ 2010/10/perkembangan-rasa-kesadaran-agama-pada.html, diakses 23 Januari 2012).

Haryati, Nik. 2011. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.

NurFathiyah, Kartika. 2007. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1/ Th. XIV / Mei 2007 Problem, Dampak, Dan Solusi Transformasi Nilai-Nilai Agama Pada Anak Prasekolah. (online). (http://eprints.uny.ac.id/ 547/1/PROBLEM_DAMPAK_DAN_SOLUSI.pdf, diakses 23 Januari 2012).

Suherman. AS, Uman. 2007. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bekasi: Madani Production.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukkan komentar anda disini. Terima Kasih.